- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
PT KP PRESS - Memasuki minggu ke-3 April, wabah Covid-19 masih belum juga mereda. Penularan masih terus saja terjadi, sehingga banyak kegiatan ekonomi harus berhenti. Bagaimana kondisi ini akan mempengaruhi perekonomian? Apa yang bisa dilakukan investor? Berikut ini wawancara telepon Kontan dengan Katarina Setiawan Chief Economist dan Investment Strategist Manulife Aset Manajemen Indonesia .
Seperti apa Anda melihat kondisi terakhir ini?
KONTAK PERKASA FUTURES - Jadi karena Covid 19 Ini kegiatan ekonomi turun, kemudian pasti pertumbuhan ekonomi juga turun karena kegiatan ekonominya turun, perdagangan turun, pariwisata juga turun. Belum lagi, ini semua kita tidak tahu akan berlangsung berapa lama. Nah memang ini memicu orang-orang untuk mencari yang safe haven atau yang dianggap safe haven ya.
PT KONTAK PERKASA - Ada juga yang membandingkan keadaan saat ini dengan krisis di tahun-tahun sebelumnya, seperti krisis di tahun 1998, 2008. Bedanya keadaan sekarang ini seharusnya fundamental di seluruh dunia, fundamental perbankan lebih baik, korporasi lebih baik. Jadi kalau misalnya kita lihat nih rasio CAR-nya perbankan, itu jauh lebih baik.
PT KONTAK PERKASA FUTURES - Kemudian kita belajar dari berbagai pengalaman, perbankan itu sekarang menjadi lebih prudent. Misalnya nih dulu-dulu itu kita tidak pernah stress test, sekarang harus stress test. Stress test itu untuk yang 2019 itu misalnya PDB dianggap turun 8%, unemployment 10%, suku bunga The Fed negatif, apakah bank itu bisa bertahan? Itu yang di Amerika ya.
Kemudian tingkat modal juga harus lebih tinggi sekarang di seluruh dunia, likuiditas harus tetap terjaga. Jadi misalnya di Amerika itu bank harus punya cash untuk 30 hari kalau pasar tutup. Peraturan ini tuh tidak ada sebelum krisis 2008. Nah jadi sebetulnya secara fundamental perbankan seluruh dunia itu lebih baik, Indonesia juga sama.
Tapi yang membedakan sekarang dengan krisis-krisis yang lalu, ini ada isu kemanusiaan. Kita tidak tahu seberapa lama ini akan berakhir, nah itu yang menyebabkan ketidakpastian. Sempat menimbulkan panik terutama di minggu ke 2 dan ke 3 Bulan Maret, di mana volatilitas indeks global itu naik sangat tinggi. Tapi kemudian kita melihat bahwa sudah turun kembali. Sekarang indeks volatilitasnya sudah turun jadi 1/2 lah dibandingkan minggu ke 2 ke 3 Maret itu.
Kok bisa turun? Ini karena bank sentral di seluruh dunia dan pemerintah-pemerintah dari berbagai negara itu kompak memberikan kebijakan yang akomodatif. Memberikan stimulus yang luar biasa besar, termasuk di Indonesia. Nah kondisi ekonominya bagaimana? Untuk Indonesia sendiri, kalau kuartal pertama sih kelihatannya masih relatif oke. Dalam arti pertumbuhan PDB sekitar 4,7% kemudian current account defisit terjaga juga, mungkin 1,5% ini terendah dalam 3 tahun terakhir. Memang karena kalau kita lihat ekspor turun, tapi impor turun lebih dalam.
Kemudian misalnya pariwisata, pariwisata itu enggak ada terus yang masuk, tapi pada saat yang sama wisatawan kita juga enggak keluar. Jadi ada plus minusnya. Inflasi terkendali, jadi inflasinya kan sekarang yang terakhir 2,98% YoY. Nah rupiah itu sempat terpuruk, minggu ke 2 minggu ke 3 Maret. Tetapi kemudian membaik. Sama seperti di negara-negara lain, kita perbankannya juga lebih kuat dibandingkan krisis-krisis yang lalu. Seperti misalnya CAR-nya sekarang 23%, ini paling tinggi di antara negara-negara pembanding.
Jadi yang menenangkan pasar, agak menenangkan pasar itu sebetulnya adalah sigapnya bank sentral dan pemerintah berbagai negara untuk menanggapi berbagai hal ini. Misalnya The Fed nih melakukan pemotongan suku bunga di Bulan Maret itu 50 basis poin 15 Maret, ditambah lagi 100 basis poin. Ini adalah pemotongan terbesar dalam satu pertemuan.
Kemudian The Fed juga mengumumkan unlimited QE, jadi akan membeli jumlah yang diperlukan untuk support the market. Program-program pemerintah Amerika untuk stimulus yang sangat besar itu juga sudah disetujui oleh kongres. Jadi semua ini membuat pasar bergerak lebih tenang.
Di Indonesia kalau kita lihat BI juga dan pemerintah juga sudah melakukan banyak hal. BI misalnya memotong suku bunga dan juga merelaksasi giro wajib minimum. Yang terakhir giro wajib minimum diturunkan 2% untuk konvensional bank.
Kemudian melakukan intervensi juga nih BI ada 3 ya ada 3 lapis. Di spot market, di pasar domestik non deliverable forward dan di obligasi pemerintah yang di secondary market. Banyak hal yang dilakukan BI, pemerintah juga. Pemerintah sudah menandatangani Perpu di mana dalam Perpu itu akan ada stimulus yang sangat besar untuk 3 program utama, yaitu satu yang berkaitan dengan kesehatan, kedua yang berkaitan dengan jaring pengaman sosial, dan ketiga untuk economic recovery.
Nah Perpu ini menargetkan dana Rp 405 triliun untuk 3 program itu dan yang belum banyak dibahas oleh orang adalah sebetulnya stimulus ini akan jauh lebih besar dari Rp 405 triliun. Jadi kalau kita lihat 405 triliun itu adalah program pemerintah pusat. Sedangkan Presiden Jokowi juga sudah menandatangani Inpres yang mengharuskan penggunaan APBD itu di-align dengan program pemerintah yang 3 prioritas utama tadi, kesehatan, jaring pengaman sosial, dan economic recovery.
Jadi dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil itu akan digunakan untuk 3 program tadi. Total totalnya ini bisa sekitar bukan Rp 405 triliun, bisa Rp 540 triliun sampai Rp 700 triliun.
Nah itu jadi sizeable sih itu jadi sekitar 4,3% dari PDB totalnya. Kalau 405 triliun kan 2,5%. Nah 4,3% dari PDB itu kalau dibandingkan dengan stimulus di China, cuma 2,4% dari PDB. Mungkin kita setara dengan Hong Kong 4,2%, Korea Selatan 4%, kita jauh di atas Thailand yang cuma 2,4%, Malaysia 1,3%, Filipina 1,2%. Jadi cukup sizeable, kalau 405 triliun itu ditambah dari dana-dana APBD tadi.
Oke nah tentu budget defisitnya akan naik di atas 3% dan ini sudah dimasukkan ke dalam Perpu. Bahwa pemerintah bisa membukukan defisit anggaran di atas 3% tahun ini, tahun depan, sampai tahun 2022. Sesudah itu akan balik lagi ke 3% lagi batasnya.
Jadi stimulus yang besar ini harusnya cukup untuk menjaga PDB kita sampai anjlok sekali misalnya negatif growth atau zero growth gitu. Jadi cukup membantu, walaupun tidak bisa mengharapkan PDB jadi tumbuh 5% seperti dalam kondisi normal.
Tapi Menkeu sendiri mengakui dalam kondisi sangat berat pertumbuhan ekonomi bisa menjadi negatif?
Sangat berat bisa -0,4%, tetapi itu belum memasukkan stimulus yang besar ini. Itu kan sebelum Perpu. Ya kemungkinan besar sih enggak akan negatif atau zero. Jadi pemerintah sendiri baseline-nya 2,3%, BI juga 2,3. Ini kayaknya sih at least, bisa lebih dari itu.
Apakah pertumbuhan 2,3% ini cukup masuk akal?
Tentu masuk akal, jadi begini, stimulus yang luar biasa besar itu diharapkan konsumsi dan belanja pemerintah, 2 komponen besar dari PDB, itu akan terjaga. Itu kan sekitar 70% dari total PDB ya. Kalau misalnya 2 komponen itu bisa dijaga di level 3,5% begitu tumbuhnya. Jadi akan tumbuh 3,5% kali 0,7 jadi 2,45. Assuming yang lain 0, kalau yang lain tumbuh juga itu akan membantu. Jadi makanya sangat penting stimulus yang besar ini tadi.
Stimulusnya juga harus bisa tepat sasaran ya?
Jadi ini banyak lika-likunya. Eksekusinya harus bagus. Harus tepat sasaran, harus enggak boleh bocor, harus cepat juga begitu. Itu memang implementasinya harus efektif.
Untuk defisit yang besar itu bagaimana pendanaanya?
Ya pendanaannya, itu pertama relokasi dari pos-pos lain yang dianggap tidak urgent itu dialokasikan ke 3 program tadi.
Belum ada informasi persisnya ya pos mana yang akan direlokasi?
Belum ada informasi dari pos mana persisnya, tapi yang tidak urgent. Antara lain ya perjalanan dinas, kemudian apa program infrastruktur yang tidak urgent banget. Relokasi budget itu 155 triliun.
Terus dari perbankan karena ingat BI itu terakhir menurunkan giro wajib minimum perbankan kan sebesar 2% untuk bank konvensional dan 50 basis poin untuk bank syariah ini akan menambah likuiditas sebesar 102 triliun di perbankan. Nah 102 triliun ini pada saat yang sama BI mengharuskan perbankan itu menyerap obligasi pemerintah yang nanti akan diterbitkan.
Nah ini akan cukup membantu pendanaan dari budget defisit. Kemudian akumulasi surplus anggaran yang belum terpakai. Bertahun-tahun ini kan pemerintah mempunyai surplus anggaran yang enggak dipakai. Itu ada akumulasinya lumayan. Terus endowment fund yang dimiliki pemerintah dan di tempatkan di BUMN itu juga akan bisa dipakai. Multilateral loan dengan berbagai institusi misalnya World Bank, ADB, JICA, AIIB. Lumayan tuh biasanya, bunganya rendah, tenornya panjang.
Tapi mereka kan harus berbagi-bagi dengan negara lain kan?
Betul tapi mereka masih punya yang sudah dialokasikan ke Indonesia itu tidak akan ditarik dan dialokasikan ke negara lain. Sebelumnya kan mereka punya tuh alokasi untuk Indonesia dan itu sudah ada agreement-nya kan, bisa dipakai anytime. Dan ada yang baru AIIB mau ikutan. Ada bilateral loan juga dengan negara-negara yang masih punya surplus cukup banyak, ini masih bisa diambil.
Kemudian jangan lupa ada kita ada repo line dengan The Fed, itu juga US$ 60 million, kalau diperlukan banget bisa dipakai juga. Nah di luar itu tentu pemerintah akan menerbitkan bond.
Penerbitan obligasi ini bagaimana nanti ratingnya?
Nah rating ini harusnya kan bukan Indonesia saja yang menerbitkan jumlah banyak, tapi most every country lah. Sebetulnya kalau kita lihat rating company juga tahu bahwa ini adalah sementara. Jadi Perpu itu mensyaratkan kembali ke defisit 3% tahun 2023. Jadi ini hanya sementara bukan selama-lamanya.
Dan kalau melihat track record Indonesia yang sangat prudent untuk defisitnya kan enggak pernah lebih dari 3%, bandingkan dengan negara-negara lain. Itu biasanya mereka itu jebol. Mepet-mepet atau lebih dari batas defisitnya. Bahkan 5% pun itu yang ditargetkan tahun ini, itu sebenarnya kecil, misalnya kalau dibandingkan dengan India. Negara berkembang yang growth-nya tinggi seperti Indonesia. India itu kan batas defisitnya 6% sebelum Covid ini, 6% ini juga selalu lebih-lebih gitu. Kadang 6,1 kadang 6 koma berapa gitu.
Kelihatan Indonesia itu sebetulnya 3% dan selalu di bawah 3% itu sangat prudent. Ini dinaikkan ke 5% lebih pun masih kecil dibandingkan negara-negara lain. Terus kalau rating company harus melihat rasio utang pemerintah juga. Kita kan sangat kecil nih, 29,8 itu rasio utang pemerintah di tahun 2019, ini jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara lain. Sama India misalnya itu 68%, Filipina 42%, Malaysia 52%, jadi seharusnya rating company juga melihat faktor-faktor ini.
Tadi sempat dikatakan banyak investor mencari safe haven. Tapi di mana aset yang bisa dikatakan safe haven?
Dalam kondisi ini semua perkembangan berjalan sangat cepat, volatility juga tinggi. Nah yang disebut safe haven itu mungkin produk-produk yang volatilitasnya relatif rendah. Kalau yang biasa kan US dolar atau emas gitu kan. Dalam kondisi panik biasanya orang-orang akan menyerbu itu.
Tapi sekarang ini sudah kelihatan sejak panik di minggu ke 3 Maret itu sudah mulai mereda. The Fed juga membuka line dengan negara-negara lain. Mereka juga enggak suka kalau US dolar terlalu kuat, karena ini kan nanti dia akan susah ekspornya dan ini akan menimbulkan defisit bagi The Fed.
Jadi kalau mau disebut safe haven, harusnya instrumen-instrumen yang relatif rendah volatilitasnya. Pada saat ini tidak bisa terlalu mengacu yang tradisional atau konvensional safe haven seperti misalnya US dolar atau emas. Karena The Fed nya sendiri tidak mau US dolar terlalu kuat. Jadi kita simpan-simpan US dolar tapi The Fed nya sendiri yang punya dolar paling banyak itu enggak setuju kalau US dolarnya terlalu kuat.
Kalau emas bagaimana?
Emas itu sangat dipengaruhi US dolar kan. Kemudian banyak faktor lainnya. Sekarang ini tidak bisa mengacu ke konvensional wisdom.
Lalu di mana yang bisa disebut safe haven?
Kalau kita sih untuk Manulife sendiri kita menyarankan produk yang low volatility misalnya pasar uang itu kita menghitung volatility-nya dari standard deviasi return. Kemudian juga ada reksadana Manulife pendapatan bulanan itu adalah isinya government bond tenor pendek, volatility-nya sangat rendah.
Ada juga Manulife Fixed Income US Dolar, itu juga volatilitasnya rendah. Ini ditaruh ke INDON atau obligasi pemerintah dalam US dolar. Kalau kita lihat spread antara US treasury pemerintah 10 tahun itu sangat tinggi sekarang dan valuasinya itu sangat menarik kalau kita lihat dari spread. Dan tekanan terhadap pasar obligasi Indonesia itu sempat sangat tinggi di minggu ke 2 dan ke 3 Maret. Banyak foreign investor ke luar, akibatnya posisi foreign investor itu sudah sekitar 32% dari total yang dulunya hampir 40%, jadi turunnya lumayan dalam.
Akibatnya tekanan terhadap pasar obligasi kita juga sudah tidak terlalu tinggi lagi, karena mereka juga sudah keluar. Jadi valuasi menarik, foreign investor juga sudah tidak terlalu banyak lagi. Jadi kita juga melihat itu dan volatilitas sangat rendah.
Kalau untuk investor yang sudah punya portofolio apa yang bisa dilakukan?
Harusnya sih mereka lihat lagi kondisi investasinya sekarang, disesuaikan lagi dengan tujuannya. Kan masing-masing punya tujuan sendiri nih, misalnya mau menyekolahkan anak ke luar negeri dalam 3 tahun, atau mau beli rumah lagi dalam 5 tahun ke depan atau apa gitu ya. Kemudian rebalance, sesuai dengan keadaan yang ada.
Kalau untuk investor yang masih ada kas?
Cari yang low volatility product. Karena produk-produk low volatility ini akan lebih aman dibandingkan dengan yang high volatility tentunya. Kemudian sabar, karena ini pasti berlalu sih. Katalisnya apa, katalisnya yang paling utama adalah kalau jumlah penderita covid-19 ini berkurang kemudian penyebarannya melambat atau misalnya ditemukan vaksin.
Itu adalah katalis yang paling utama. Dua katalis pendukung adalah kebijakan akomodatif dari bank sentral dan fiskal stimulus dari pemerintah. Nah kita tuh harus bersyukur karena pemerintah dan BI-nya kompak, mereka ada sinergi dan komunikasinya sangat clear. Dengan komunikasi yang transparan itu investor bisa lebih tenang dan tahu oh ini apa sih yang dilakukan.
Source : kontan.co.id
- Get link
- X
- Other Apps